. FazthaBlog: MELIHAT KA’BAH SEBELUM MASUK ISLAM

Senin, 01 Agustus 2011

MELIHAT KA’BAH SEBELUM MASUK ISLAM

Setetes Hidayah
SIMON NICHOLAS :
MELIHAT KA’BAH
SEBELUM MASUK ISLAM
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat member petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah member petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash: 56)
            Ayat di atas sangat tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini: Seorang ayah yang baru mengucap syahadattain (dua kalimat syahadat), namun tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun untuk merangkul istri dan anak-anak tercinta ke dalam cahaya Islam. Hingga sekarang, meskipun masih hidup satu atap, aku bertahan untuk pisah rangjang dengan istriku. Hubungan kami merenggang. Komunikasi dengan kedua anakku yang masih kuliah pun putus total. Mereka tidak pernah menghubungiku sejak tahu aku telah menjadi mualaf.
            Saat kami berempat berada di rumah, tidak ada tegur-sapa,
apalagi obrolan keluarga. Satu-satunya komunikasi yang dilakukan oleh kedua anakku hanya melalui SMS.itupun terbatas untuk meminta uang saku dan SPP. Bahkan saat anak bungsuku minta dibelikan mobil, dia tidak menemuiku untuk menyampaikan keinginannya tersebut. Menelepon pun tidak. Kainginannya itu, lagi-lagi, disampaikan hanya lewat SMS.
KELUARGA PENDETA
            Aku lahir 56 tahun yang lalu dari pasangan Yoseph dan Ruth Karatem. Ayahku penganut katolik yang kemudian menikah dengan wanita Protestan. Karena ayah masuk kedalam komunitas ibu, dia ikut menjadi penganut Protestan.
            Keluargaku bias dibilang keluarga pendeta. Kakekku adalah pendeta dan dua orang dari pihak ibuku juga pendeta. Tapi meskipun kehidupanku begitu dekat dengan gereja, aku tidak kuasa menampik hidayah Islam yang dating begitu saja menusuk sanubariku. Hidayah itu tidak aku sia-siakan. Aku langsung merengkuhnya, dan kutancapkan ke dalam hati untuk kemudian memulai perjalanan mencari nur Illahi.
            Perjalanan hidupku mencari Islam berlangsung di bawah baying-bayang amarah sanak-keluarga dan rekan-rekanku yang pasti murka bila melihatku memeluk agama Islam. Bagaimana tidak? Keluarga besarku sangat dekat dengan rutinitas keagamaan. Setiap Minggu, kami mengikuti kebaktian di gereja. Saat pendeta (salah satunya adalah pamanku) menyampaikan pesan-pesan Yesus, aku turut menyimak bersama jamaah lainnya. Aku sendiri adalah pengurus wilayah Gereja Santa Ana, sementara istriku pengurus wanita katolik di Bintara Jaya. Tentu amat muskil jika ternyata aku di gariskan memeluk agama Islam di penghujung umurku yang sudah tua ini. Tapi begitulah lembaran hidup yang aku jalani kini. Maka tatkala keluarga besar mengetahui jati diriku yang baru, mereka serentak menjahui dan memusuhiku. Begitu pula dengan teman-teman di lingkungan rumah, di kampong halaman dan teman-teman kantor. Mereka memandangku sebagai orang asing yang tak patut mendapatkan tegur-sapa sedikitpun.
            Terlebih istri dan kedua anakku. Saking hebatnya penentangan yang mereka lancarkan, sampai aku merasa nyawaku terancam. Tapi aku bertahan, dan berusaha agar tetap tegar dan teguh mempertahankan akidahku yang baru bahwa: Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah SWT.
MENGAPA PENGAKUAN DOSA?
            Masa kecilku sama sepeeti anak-anak Kristen lainnya. Aku mengecap pendidikan SD hingga SMA di sekolah katolik di Ambon. Memasuki jenjang kuliah pada tahun 1969, aku memutusakan untuk berangkat ke pulau Jawa. Aku memilih pendidikan Diploma III di Akademi Keuangan dan Perbankan (AKP) Semarang.
            Pergaulanku dengan teman-teman di kampus dan tempat kost lambat laun merubah persepsiku tentang agama Kristen yang selama ini kuanut. Ada semacam kejanggalan yang aku rasakan dalam rutinitas beragamaku. Namun aku tidak bias memahami secara pasti apa yang bergejolak di dalam hati.
            Umurku saat itu baru saja melewati angka dua puluh, tapi aku sudah merasaka kegelisahan demi kegelisahan.apalagi darah muda yang menyelimuti jiwa membuatku haus akan pengetahuan dan serba penasaran. Maka dalam rangka mencari ketenangan hati, aku pun mulai mencari-cari jatdiri yang baruselama di Semarang aku pernah mengikuti beberapa macam kegiatan kebatinan seperti Yoga Kundali dan belajar ilmu beladiri. Aliran-aliran Islam Kejawen pun pernah aku pelajari
Tapi aku sendiri belum mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Karena tidak berasal dari dalam hati, petualangan ruhaniku itu tidak membekas sedikitpun. Rutinitas layaknya umat kristiani masih aku laksanakan seperti biasa. Dan beberapa tahun setelah itu, aku kembali merasakan kegundahan dalam hati. Ada sesuatu yang tidak beres dengan agama yang kuanut, terutama pengakuan dosa yang kerap dilakukan umat kristiani di hadapan Romo atau Pastur.
            Bagiku, pengakuan dosa merupakan aktivitas ibadah yang naïf. Adalah hal yang muskil bagi manusia mengaku dan memohon penghapusan dosa kepada sesama manusia. Apa yang bisa di dapat dari titah agama seperti itu? Bukankah setiap orang punya peluang dosa yang sama, setinggi apa pun tingkatannya dalam hirarki agama? Apalagi aku tahu persis track record(latar belakang) Romo yang menerima pengakuan dosaku.
            Dulu di setiap bilik pengakuan dosa ada ruang tertutup tempat Romo mendengarkan dosa-dosa yang disampaikan umat kristiani. Tapi sekarang ruang khusus itu, seperti Gereja Sanat Ana, tidak ada lagi. Sehingga orang yang mengaku dosa bisa tahu siapa room yang menerimanya.
Terus terang, aku tidak pernah melakukan pengakuan dosa kecuali satu kali, yaitu setelah menikah dengan Lusia yang menganut Kristen Katolik. Itu pun karena keharusan mengikuti Ekaristi (Misa Kudus). Nah gundahku semakin menjadi-jadi saat mengetahui bahwa Romo yang menerimaku tidak sebaik yang semestinya. Aku jadi semakin ragu dengan agama Kristen.
Keraguanku ini berimbas pada aktivitas keagamaanku yang mulai menurun. Aku, misalnya tidak lagi memakai tanda salib saat berdoa sebelum makan bersama istri dan anak-anak di rumah. Anak-anak mempertatnyakan hal itu, tapi aku tidak menjawabnya secara gamblang.
MELIHAT KA’BAH
            Seiring berjalannya waktu, aku kembalitertarik dengan agama Islam yang pernah kupelajari sewaktu kuliah dulu. Gairah ku untuk memahami Islam lebih dalam dipicu oleh peristiwa peritakaian antara umat muslim dan kristiani di tanah kelahiranku, Ambon. Kebetulan aku punya banyak teman muslim di sana. Mereka menceritakan beragam hal yang membuatku semakin penasaran terhadap agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad ini.
            Melalui internet, aku membaca sekian banyak artikel tentang Islam dari berbagai sudut pandang. Termasuk salah satunya tulisan penyejuk hati Aa Gym. Ini berlangsung sejak sekitar tahun 1992. Islam yang sebelumnya tercitrakan sebagai agama yang penuh kekerasan dan kelemahan, perlahan dapat kupahami secara utuh. Ajaran di dalamnya ternyata sarat perdamaian dan jauh lebih masuk akal daripada ajaran agama Kristen.
            Selang satu tahun kemudian, hidayah Allah mulai menghampiri hatiku yang sedang bimbang. Setiap kali pulang kerja dari kantor Astra Internasional di Bilangan Sunter menuju rumahku di kawasan Bintaran Jaya, aku terkesima mendengar bilangan alunan azan Ashar yang menggema di sepanjang jalan tol Bypass.
            Awalnya hatiku terasa tenang dan teduh. Lambat laun suara itu memberikan kendahan rasa yang tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Bahkan beberapa kali aku sempat menangis mendengar lantunan syair berbahasa Arab yang tidak aku pahami maknanya. Tapi waktu itu aku belum berani mengungkapkan pengalaman ruhani yang dasyat ini kepada siapapun. Aku masih memendamnya dan melanjutkan penacarian lewat internet dan buku-buku keislaman.
            Puncak dai curahan hidayah itu aku rasakan pada suatu pagi di awal tahun 2004. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku berdoa kepada Yesus di salah satu sudut rumah. Tanpa sadar waktu itu aku menghadap kea rah Kiblat. Selesai berdoa, suatu keajaiban terjadi. Aku melihat bangunan Ka’bah yang berdiri kokoh persis di hadapanku. Bangunan hitam persegi empat itu benar-benar nyata, seakan aku berada di Masjidil Haram. Aku betul-betul takjub. Aku merasa saat itu sedang bermimpi ternyata tidak.
            Peristiwa itu semakin memperbesar motivasiku untuk mendalami Islam. Aku mulai membicarakannya dengan beberapa teman dekat yang beragama Islam. Mereka lalu menganjurkan agar aku bertandang ke Yayasan Ama, sebuah lembaga yang khusus menaungi para mualaf. Dari yayasan itu aku dipertumakan dengan Dr. Bamabang Sukamto  yang memperkenalkan aku dengan dua orang Ustadz Insan Mokoginta dan Ustadz Wahid Laziman (William Bordus) dari Yogyakarta. Dari keduanya aku banyak berdiskusi dan belajar tentang Islam.diskusi itu lebih difokuskan pada bedah Bible daripada kajian Al-Qur’an. Satu-persatu keganjilan ajaran Kristen terungkap dihadapanku. Seperti mengapa orang Kristen tidak di sunat, padahal Nabi Isa di sunat pada umur delapan hari. Umat kristiani juga memakan daging babi yang sebenarnya diharamkan oleh Nabi Isa.
            Selain lewat diskusi, akupun banyak membaca buku-buku tentang Islamologi dan Kristologi seperti “The Choice” dan “Bible, Quran dan Sains”. Dari situ aku mulai mengkritis posisi Paulus, pemimpin tertinggi umat Kristen Katolik. Dalam Perjanjian Baru yang berisi perkataan Nabi Isa dan murid-muridnya, tidak ada satu ayatpun yang menyebutkan posisi Paulus. Paulus bukanlah siapa-siapa. Dia hanya belajar dari salah seorang sahabat Nabi Isa dan tidak pernah bertemu langsung dengannya. Akhirnya aku berkesimpulan bahwa ajaran Kristen sekarang adalah ajaran yang dibuat oleh Paulus. Perayaan natal 25 Desember misalnya, sebenarnya diadopsi dari perayaan Dewa Matahari, bukan perayaan kelahiran Yesus atau siapapun juga.
MENGUCAP SYAHADATTAIN
            Setelah menyakini kebohongan dalam Kristen, aku muali memantapkan hati untuk menganut ajaran Islam. Sejak tahun 2004, aku mulai belajar shalat. Bacaan Al-Fatihah aku hafalkan ketika menyetir mobil. Tulisan latin surah Al-Fatihah itu sengaja kutaruh di handphone agar keluarga dan teman-temanku tidak mencurigai kecerendungan hatiku terhadap Islam. Tapi saat itu aku belum shlat karena memang belum masuk Islam.    
             Pada pertengahan 2004, aku sudah merasa sebagai seorang muslim, hal itu aku rasakan karena semakin besarnya keyakinanku terhadap Allah SWT. Yang telah mengutus nabi Muhammad SAW, sebagai nabi akhir zaman yang menyempurnakan ajaran nabi-nabi sebelumnya. Saat memasuki bulan suci Ramadhan, aku menjalankan puasa sebulan penuh layaknya seorang muslim. Aku pun mulai memutuskan pisah rangjang dengan istriku. Karena aku paham, seortang muslim tidak dibenarkan menggauli pasangan non-muslim. Itu zina namanya. Padahal, sekali lagi, waktu itu aku belum menjadi muslim.
            Akhir Desember 2004, hatiku semakin mantap untuk berpindah agama. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam hatiku. Tidak ada seorang pundari saudaraku yang mengetahui rencanaku ini. Pada tanggal 16 Januari 2005, aku menyatakan keislamanku di masjid Namira.
            Kemudahan dari Allah langsung aku rasakan begitu aku berniat masuk Islam. Saat memasuki masa pension di Astra Internasional, aku memutuskan untuk terus bekerja di perusahaan yang sudah merekrutku sejak tahun 1983 itu. Alhamdullillah, keinginanku di kabulkan. Dan di luar dugaan meja kerjaku dipindahkan ke kantor yang berisi mayoritas karyawan muslim. Aku pun semakin nyaman menjalankan ibadah di kantor baru karena di kantor lama aku merasa riskan saat shalat di antara orang-orang non-muslim.

SEMPAT TAKUT DIBUNUH
            Gejolak di dalam keluarga mulai menunjukan ketegangan. Awalnya aku belum berani memberitahukan keislamanku kepada istri dan anak-anakku. Shalat pun aku lakukan di luar rumah. Aku masih terlalu takut menghadapi reaksi mereka. Saat di rumah, aku menjalankan shlat secara gerilya: Bangun pagi-pagi sekali untuk lari pagi sambil membawa sajadah dan kain sarung. Aku sengaja mengantongi sajadah dan kain sarung untuk shlat di masjid yang letaknya sudah agak jauh dari rumah. Selebihnya aku shalat di kantor. Aku juga sengaja pulang jam tujuh agara bisa shalat di kantor.
            Dua bulan berselang, istriku pun akhirnya tahu perihal keislamanku. Dia lantas bertnya memastikan apakah benar aku sudah masuk Islam. Saat aku jawab benar, dia langsung melampiaskan amarahnya. Seluruh pintu di rumah di banting sekeras-kerasnya hingga menimbulkan kegaduhan. Dia benar-benar tidak menyangka suaminya telah berpindah agama.
            Seketika itu juga, aku mengajaknya untuk ikut bersamaku. Begitu juga anak-anak harus ikut denganku karena aku pemimpin rumah tangga. Tapi dia menolak mentah-mentah. Dia bahkan melarang anak-anak berbicara denganku, sehingga komunikasiku dengan mereka benar-benar terputus. Inilah tantangan yang aku hadapi sekarang.
            Beberapa hari setelah istri dan anak-anak tahu, hatiku menjadi gundah. Aku bahkan sempat khawatir istri dan anak-anak nekat membunuhku di saat aku tidur. Setipa kali pulang kerja , aku menjadi orang asing di rumah sendiri . tidak ada sambutan hangat yang dulu aku rasakan. Aku pun terpaksa tidur di lantai beralaskan karpet dan membiarkan istriku tidur di ranjang seorang diri. Risiko semacam ini sudah aku perkirakan sebelumnya. Tapi aku patuh kepada ajaran agama Islam dan mencoba menjalani segala macam cobaan ini dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Aku tidak akan pernahj keluar dari agama Islam karena aku memeluknya dengan keyakinan penuh, bukan dengan paksaan . risiko seperti pisah rangjang akan kuhadapi. Sempat pila terpikir olehku untuk pisah rumah bila merka tetap menolakku keislamanku.
            Mungkin sekarang banyak yang menentang dan menolakku. Tapi aku yakin Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Mungkin allah SWT mempunyai rencana lain atas diriku dan keluargaku.
            Sampai saat ini aku terus belajar bagaimana menjadi seorang muslim yang baik. Aku belum lancer membaca Al-Qur’an karena masih buta bahasa Arab. Tapi aku tidak pernah meniggalkan shalat lima waktu. Aku pun terus membiasakan shalat tahajjud, lalu shalat sunnah fajar sambil menuggu azan shubuh. Sepagi itu tentu istriku masih tidur hingga terpaksa aku shalat di ruang lain.
            Aku berusaha menunaikan rukun Islam kelima. Tapi bila di Tanya tentang rencana berhaji, hatiku pasti bergetardan tubuhku merinding. Pernah suatu hari seorang temanmuslim asli Ambon menawarkanku Umrah. Waktu itu aku merasa mendapatkan limpahan anugera. Tapi sekarang, aku lebih memilih langsung pergi haji karena itulah ibadah utama yang diwajibkan atas semua muslim yang mampu. Tapi aku harus terlebih dahulu menyempurnakan ibadahku yang lainnya ; shalat, puasa, dan zakat. Aku in gin sempurna shalat dan ibadah lainnya hatiku juga kelak sempurna. Amin Ya Rabbla Alamin.     
                
           
       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar